Sunday, April 28, 2013

Rational Emotion Therapy


1.    Pengertian Terapi
Istilah Terapi Emotif Rasional (TRE / RET---Rational Emotion Therapy) sukar digantikan dengan istilah bahasa Indonesia yang mengena; paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi antara berpikir dan akal sehat (rational thingking, berperasaan (emoting), dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan bahwa suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir dapat menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Maka, orang yang mengalami gangguan dalam alam perasaannya, harus dibantu untuk meninjau kembali cara berpikir dan memanfaatkan akal sehat.
Pelopor dalam sekaligus promoter utama corak konseling ini adalah Albert Ellis, yang telah banyak menerbitkan banyak karangan dan buku, antara lain buku yang berjudul Reason and Emotion in Psychotherapy (1962), A New Guide to Rational Living (1975), serta karangan Burks Theories of Counselling yang berjudul The Rational Emotive Approach to Counselling dalam buku Burks Theories of Counselling (1979).
Menurut pengakuannya Ellis sendiri, corak konseling Rational Emotive Terapi (disingkat RET) berasal dari aliran pendekatan Kognitif Behavioristik. Banyak buku yang telah terbit mengenai tata cara memberikan konseling kepada diri sendiri, mengambil inspirasi dari gerakan RET, misalnya J. Lembo, Help Yourself, yang telah disadur pula kedalam bahasa Indonesia dengan judul Berusahalah Sendiri (1980).
Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat psikologis, yaitu:
a.    Manusia adalah mahluk yang manusiawi, artinya dia bukan superman dan juga bukan mahluk yang kurang dari seorang manusia. Manusia mempunyai kekurangan dan keterbatasan, yang mereka atasi sampai taraf tertentu. Selama manusia hidup di dunia ini, dia harus berusaha untuk menikmatinya sebaik mungkin.
b.    Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau pembawaan, tetapi sekaligus juga tergantung dari pilihan-pilihan yang dibuat sendiri. Nilai-nilai kehidupan (values) untuk sebagian ditentukan baginya.
c.    Hidup secara rasional berarti berpikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup dapat dicapai secara efisien dan efektif. Bilamana orang berpikir, berperasaan dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga segala tujuan yang dikejar tidak tercapai, mereka ini hidup secara tidak rasional. Dengan demikian berpikir rasional menunjuk pada akal sehat, sehingga sungguh-sungguh membantu mencapai kebahagiaan di hidup ini. Orang yang tidak mencapai kebahagian itu harus mempersalahkan dirinya sendiri karena tidak menggunakan akal sehatnya secara semestinya.
d.    Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional dan sekaligus untuk hidup secara tidak rasional. Dia dapat berpikir dengan akal sehat, tetapi dapat juga berpikir salah.
e.    Orang kerap berpegang pada setumpuk keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal atau irrasional (irational beliefs), yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan kebudayaan atau diciptakan sendiri. Mungkin juga keyakinan-keyakinan itu merupakan gabungan dari pengaruh lingkungan sosial dan gagasannya sendiri. Tumpukan keyakinan irasional cenderung untuk bertahan lama, bahkan orang cenderung memperkuatnya sendiri dengan berbagai dalih. Albert Ellis sendiri mengakui mula-mula merumuskan 11 keyakinan irasional yang dianggapnya dipegang oleh banyak orang, tetapi kemudian ditinjau kembali. Jumlah itu dikurangi sampai tiga keyakinan dasar yang irasional, yaitu tiga keharusan yang disampaikan oleh orang kepada dirinya sendiri:
Terapi Emotif Rasional yang dikembangkan oleh Albert Ellis merupakan bagian dari terapi CBT (cognitive behaviural therapy) lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi kognitif-tingkah laku-tindakan dalam arti menitik beratkan pada proses berpikir, menilai, memuuskan, menganalisa dan bertindak. Konsep-konsep Teapi Emotif Rasional membangkitkan sejumlah pertanyaan yang sebaiknya, seperti: Apakah pada dasarnya psikoterapi merupakan proses reeduksi? Apakah sebaiknya terapis berfungsi terutama sebagai guru? Apakah pantas para terapis menggunakan propaganda, persuasi, dan saran-saran yang sangat direktif? Sampai mana membebaskan keefektifan usaha membebaskan para klien dari “keyakinan-keyakinan irasional” nya dengan menggunakan logika, nasihat, informasi, dan penafsiran-penafsiran.
Teapi Emotif Rasional adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan –kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualkan diri. Akan tetapi manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan yang tidak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme dan mencela diri serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecenderungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama yang disfungional dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri.
Manusia padasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event, Belief,  dan Emotional consequence. Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
Teapi Emotif Rasional (TRE) adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan, mencintai, bergabung dengan orang lain, serta tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi, manusia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan ke arah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali kesalahan-kesalahan secara tak berkesudahan, takhayul, intoleransi, perfeksionisme, dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri.
Teapi Emotif Rasional menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakat. Manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi, dan bertindak secara stimulan. Jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan- perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.
Menurut Allbert Ellis, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan secara biologis dan didorong oleh naluri-naluri. Ia melihat individu sebagai makhluk unik dan memiliki kekuatan untuk memahami keterbatasan-keterbatasan, untuk mengubah pandangan-pandangan dan nilai-nilai dasar yang telah diintroyeksikannya secara tidak kritis pada masa kanak-kanak, dan untuk mengatasi kecenderungan-kecenderungan menolak diri sendiri. Sebagai akibatnya, mereka akan bertingkah laku berbeda dengan cara mereka bertingkah laku di masa lampau. Jadi, karena bisa berpikir dan bertindak sampai menjadikan dirinya berubah, mereka bukan korban-korban pengkondisian masa lampau yang pasif.
Unsur pokok terapi rasional-emotif adalah asumsi bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah Menurut Ellis, pilaran dan emosi merupakan dua hal yang saling bertumpang tindih, dan dalam prakteknya kedua hal itu saling terkait. Emosi disebabkan dan dikendalikan oleh pikiran. Emosi adalah pikiran yang dialihkan dan diprasangkakan sebagai suatu proses sikap dan kognitif yang intristik. Pikiran-pikiran seseorang dapat menjadi emosi seseorang dan merasakan sesuatu dalam situasi tertentu dapat menjadi pemikiran seseorang. Atau dengan kata lain, pikiran mempengaruhi emosi dan sebaliknya emosi mempengarulu pikiran. Pikiran seseorang dapat menjadi emosinya, dan emosi dalam keadaan tertentu dapat berubah menjadi pikiran.
Pandangan yang penting dari teori rasional-emotif adalah konsep hahwa banyak perilaku emosional indiuidu yang berpangkal pada “self-talk:” atau “omong diri” atau internatisasi kalimat-kalimat yaitu orang yang menyatakan kepada dirinya sendiri tentang pikiran dan emosi yang bersifat negatif. Adanya orang-orang yang seperti itu, menurut Eilis adalah karena: (1) terlalu bodoh untuk berpikir secara jelas, (2) orangnya cerdas tetapi tidak tahu bagaimana berpikir secara cerdas tetapi tidak tahu bagaimana herpikir secara jelas dalam hubungannya dengan keadaan emosi, (3) orangnya cerdas dan cukup berpengetahuan tetapi terlalu neurotik untuk menggunakan kecerdasan dan pengetahuan seeara memadai.
Neurosis adalah pemikiran dan tingkah laku irasional. Gangguan-gangguan emosional berakar pada masa kanak-kanak, tetapi dikekalkan melalui reindoktrinasi sekarang. Sistem keyakinan adalah penyebab masalah-masalah emosional. Oleh karenanya, klien ditantang untuk menguji kesahihan keyakinan-keyakinan tertentu. Metode ilmiah diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Emosi-emosi adalah produk pemikiran manusia. Jika kita berpikir buruk tentang sesuatu, maka kita pun akan merasakan sesuatu itu sebagai hal yang buruk. Ellis menyatakan bahwa “gangguan emosi pada dasarnya terdiri atas kalimat-kalimat atau arti-arti yang keliru, tidak logis dan tidak bisa disahihkan, yang diyakini secara dogmatis dan tanpa kritik terhadapnya, orang yang terganggu beremosi atau bertindak sampai ia sendiri kalah”.
TRE berhipotesis bahwa karena kita tumbuh dalam masyarakat, kita cenderung menjadi korban dari gagasan-gagasan yang keliru, cenderung mendoktrinasi diri dari gagasan-gagasan tersebut berulang-ulang dengan cara yang tidak dipikirkan dan autsugestif, dan kita tetap mempertahankan gagasan-gagasan yang keliru dalam tingkah laku overt kita. Beberapa gagasan irasional yang menonjol yang terus menerus diinternalisasikan dan tanpa dapat dihindari mengakibatkan kesalahan diri.
Ellis menunjukkan bahwa banyak jalan yang digunakan dalam TRE yang diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu : ” meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik”. Tujuan psikoterapis yang lebih baik adalah menunjukkan kepada klien bahwa verbalisasi-verbalisasi diri merka telah dan masih merupakan sumber utama dari gangguan-gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
Ringkasnya, proses terapeutik terdiri atas penyembuhan irasionalitas dengan rasionalitas. Karena individu pada dasarnya adalah makhluk rasional dan karena sumber ketidakbhagiaannya adalah irasionalitas, maka individu bisa mencapai kebahagiaan dengan belajar berpikir rasional. Proses terapi, karenanya sebagian besar adalah proses belajar-mengajar. Menghapus pandangan hidup klien yang mengalahkan diri dan membantu klien dalam memperoleh pandangan hidup yang lebih toleran dan rasional.
2.    Tujuan Terapi Emotif Rasional
Tujuan utama dari terapi ini yaitu meminimalkan pandangan yang mengalahkan diri dari klien dan membantu klien untuk memperoleh filsafat hidup yang lebih realistik. Terapi ini mendorong suatu reevaluasi filosofis dan ideologis berlandaskan asumsi bahwa masalah-masalah manusia berakar secara filosofis, dengan demikian Terapi Emotif Rasional tidak diarahkan semata-mata pada penghapusan gejala (Ellis, 1967, hlm, 85;1973a, hlm. 172), tetapi untuk mendorong klien agar menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar. Jika masalah yang dihadirkan oleh klien adalah ketakutan atas kegagalan dalam perkawinan misalnya, maka sasaran yang dituju oleh seorang terapis bukan hanya pengurangan ketakutan yang spesifik itu, melainkan penanganan atas rasa takut gagal pada umumnya. TRE bergerak ke seberang penghapusan gejala, dalam arti tujuan utama.
Ringkasnya, proses terapeutik utama TRE dilaksanakan dengan suatu maksud utama yaitu: membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasikan suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasikan keyakinan-keyakinan dogmatis yang irasional dan takhayul yang berasal dari orang tuanya maupun dari kebudayaannya.
Untuk mencapai tujuan-tujuan diatas, terapis memiliki tugas-tugas yang spesifik. Langkah pertama adalah menunjukkan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan irasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukan banyak “keharusan”, “sebaiknya”, dan “semestinya”. Klien harus belajar memisahkan keyakinan-keyakinannya yang rasional dari keyakinan-keyakinan irasionalnya. Agar klien mencapai kesadaran, terapis berfungsi sebagai kontrapropogandis yang menentang propaganda yang mengalahkan diri yang oleh klien pada mulanya diterima tanpa ragu sebagai kebenaran. Terapis mendorong, membujuk, dan suatu saat bahkan memerintah klien agar agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan bertindak sebagai agen-agen kontra propoganda.
Langkah kedua adalah membawa klien ke-seberang tahap kesadaran dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berpikir secara tidak logis dan dengan mengulang-ulang kalimat-kalimat yang mengalahkan diri dan yang mengekalkan pengaruh masa kanak-kanak. Dengan perkataan lain, karena klien tetap mereindoktrinasi diri, maka dia bertanggung jawab atas masalah-masalahnya sendiri. Terapis tidak hanya cukup menunjukkan kepada klien bahwa Dia memiliki proses-proses yang tidak logis, sebab klien cenderung mengatakan, ”sekarang saya mengerti bahwa saya memiliki ketakutan akan kegagalan dan bahwa ketakutan ini berlebihan dan tidak realistis”.
Untuk melangkah ke seberang pengakuan klien atas pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan irasionalnya, terapis mengambil langkah ketiga, yakni berusaha agar klien memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan-gagasan irasionalnya. TRE berasumsi bahwa keyakinan-keyakinan yang tidak logis itu berakar dalam sehingga biasanya klien tidak bersedia mengubahnya sendiri. Terapis harus membantu klien untuk memahami hubungan antara gagasan-gagasan yang mengalahkan diri dan filsafat-filsafatnya yang tidak realistis yang menjurus pada lingkaran setan proses penyalahan diri. Jadi langkah terakhir dari proses terapeutik adalah menantang klien untuk mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan-keyakinan yang irasional.
Menangani masalah-maslah atau gejala-gejala yang spesifik saja tidak menjamin bahwa masalah-masalah lain tidak akan muncul. Yang kemudian diharapkan adalah terapis menyerang inti pikiran irasional dan mengajari klien bagaimana menggantikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang irasional dengan yang rasional.
Terapis yang bekerja dalam kerangka TRE fungsinya berbeda dengan kebanyakan terapis yang lebih konvensional. Karena TRE pada dasarnya adalah suatu proses terapeutik kognitif dan behavioral yang aktif dan direktif. TRE adalah suatu proses edukatif, dan tugas utama terapis adalah mengajari klien cara-cara memahami dan mengubah diri. Terapis terutama menggunakan metodologi yang gencar, sangat direktif, dan persuasif yang menekankan aspek-aspek kognitif. Rllis (1973ª,hlm.185) memberikan suatu gambaran tentang apa yang dilakukan oleh terapis TRE sebagai berikut:
a.    mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak gangguan tingkah laku;
b.    menantang klien untuk menguji gagasan-gagasanya;
c.    menunjukkkan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya;
d.    menggunakan suatu analisis logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien;
e.    menunjukkan bahwa keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan akan mengakibatkan gangguan-gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan;
f.     menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi irasionalitas pikiran klien;
g.    menerangkan bagaimana gagasan-gagasan yang irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional yang memiliki landasan empiris;
h.    mengajari klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah pada cara berpikir sehingga klien bisa mengamati dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis sekarang maupun pada masa yang akan datang, yang telah mengekalkan cara-cara merasa dan berperilaku yang dapat merusak diri.
Pengalaman utama klien dalam TRE adalah mencapai pemahaman. TRE berasumsi bahwa pencapaian pemahaman emosional (emotional insight) oleh klien atas sumber-sumber gangguan yang dialaminya adalah bagian yang sangat penting dari proses terapeutik. Ellis (199\67, hlm 87) mendefinisikan pemahaman emosional sebagai “ mengetahui atau melihat penyebab-penyebab masalah dan bekerja dengan keyakinan dan bersemangat untuk menerapkan pengetahuan itu pada penyelesaian masalah-masalah tersebut”. Jadi, TRE menitikberatkan penafsiran sebagai suatu alat terapeutik.
3.    Tiga Taraf Pemahaman dalam TRE
Klien menjadi sadar bahwa ada anteseden tertentu yang menyebabkan dia takut terhadap suatu hal:
a.    Klien mengakui bahwa dia masih merasa terancam oleh ketidaknyamanannya, karena dia tetap mempercayai dan mengulang-ulang keyakinan-keyakinan irasional yang telah diterimanya.
b.    Tarap pemahaman ketiga terdiri atas penerimaan klien bahwa dia tidak akan membaik, juga tidak akan berubah secara berarti kecuali jika dia berusaha sungguh-sungguh dan berbuat untuk mengubah keyakinan irasionalnya dengan benar-benar melakukan hal-hal yang bersifat kontropropaganda.
TRE lebih menekankan terutama pada dua pemahaman-pemahaman yaitu tarap pemahaman kedua dan ketiga, yakni pengakuan klien bahwa dirinyalah yang sekarang mempertahankan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan yang semula mengganggu dan bahwa dia sebaiknya menghadapinya secara rasional-emotif, memikirkannya, dan berusaha menghapuskannya.
4.    Penerapan Teknik-Teknik Dan Prosedur-Prosedur Terapeutik Rasional Emotif
TRE memberikan keleluasaan kepada pempraktek untuk menjadi eklektik. Sebagian besar sistem psikoterapi mengandaikan suatu kondisi tunggal yang diperlukan bagi pengubahan kepribadian. Ellis (1976, hlm 89), berpendapat bahwa mungkin tidak ada kondisi tunggal atau sekumpulan kondisi yang memadai dan yang esensial bagi terjadinya suatu perubahan. TRE menandaskan bahwa orang-orang bisa mengalami perubahan melalui banyak jalan yang berbeda seperti memiliki pengalaman-pengalaman hidup yang berarti, belajar tentang pengalaman-pengalaman, orang lain, memasuki hubungan dengan terapis, menonton film, mendengarkan rekaman-rekaman, mempraktekkan pekerjaan rumah yang spesifik, melibatkan diri dalam korespondensi melalui saluran-saluran TRE, menghabiskan waktu sendirian untuk berpikir dan meditasi, dan dengan banyak cara lain untuk menentukan perubahan kepribadian yang tahan lama.
Teknik TRE yang esensial adalah mengajar secara aktif-direktif. Segera setelah terapi dimulai, terapis memainkan peran sebagai pengajar yang aktif untuk mereeduksi klien. Dalam hal ini teknik-teknik yang dapat digunakan dalam terapi ini meliputi diantaranya: pelaksanaan pekerjaan rumah (home task/work) dimana pada pelaksnaannya klien diajarkan dan disuruh untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan rumah yang dapat dilakukannya seperti kedisiplinan waktu, merapihkan tempat tidur, melaksanakan komunikasi dan relasi yang positif (produktif), desensitiasi, pengkondisian operan, hipnoterapi dan latihan asertif.
5.    Penerapan TRE pada Terapi Individual
Ellis (1973ª, hlm. 192) menyatakan bahwa pada penanganan terapi individual pada pelaksanaannya diharapkan memiliki satu sesi dalam setiap minggunya dengan jumlah antara lima sampai lima puluh sesi. Dimana pada pelaksanaan terapi ini klien diharapkan mulai dengan mendiskusikan masalah-masalah yang paling menekan dan menjabarkan perasaan-perasaan yang paling membingungkan dirinya. Kemudian terapis juga mengajak klien untuk melihat keyakinan-keyakinan irasional yang diasosiasikan dengan kejadian-kejadian pencetus dan mengajak klien untuk mengatasi keyakinan-keyakinan irasionalnya dengan menugaskan kegiatan pekerjaan rumah yang akan membantu klien untuk cecara langsung melumpuhkan gagasan-gagasan irasionalnya itu serta membantu klien dalam mempraktekkan cara-cara hidup yang lebih rasional.
Setiap minggu terapis memerikasa kemajuan kliennya dan klien secara sinambung belajar mengatasi keyakinan-keyakinan irasionalnya sampai ia lebih dari sekedar menghilangkan gejala-gejala, yakni sampai mereka belajar cara-cara hidup yang lebih toleran dan rasional
6.    Teknik-Teknik Terapi Emotif Rasional (Emotif)
a.    Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
b.    Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
c.    Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
7.    Teknik-teknik Behavioristik
a.    Reinforcement
Teknik untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
b.    Sosial modeling
Teknik untuk membentuk tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
c.    Home work assigments
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan.
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
d.    Latihan asertif
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial. Maksud utama teknik latihan asertif adalah : (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri sendiri.
Video RET:

Monday, April 22, 2013

Analisis Transaksional



Analisis Transaksional


A. Latar Belakang 
Analisis Transaksional (AT) adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. AT dapat dipergunakan untuk terapi individual, tetapi terutama untuk pendekatan kelompok. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.
 AT dikembangkan oleh Eric Berne tahun 1960 yang ditulisnya dalam buku Games People Play. Berne adalah seorang ahli ilmu jiwa terkenal dari kelompok Humanisme. Pendekatan analisis transaksional ini berlandaskan teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis struktural dan transaksional. Teori ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang terpisah, yaitu : orang tua, orang  dewasa, dan anak. Pada dasarnya teori analisis transaksional berasumsi bahwa orang-orang bisa belajar mempercayai dirinya sendiri, berpikir, dan memutusakan untuk dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan- perasaannya.
Dalam mengembangkan pendekatan ini Eric Berne menggunakan berbagai bentuk permainan antara orang tua, orang dewasa dan anak. 
Dalam eksprerimen yang dilakukan Berne mencoba meneliti dan menjelaskan bagaimana status ego anak, orang dewasa dan orang tua, dalam interaksi satu sama lain, serta bagaimana gejala hubungan interpersonal ini muncul dalam berbagai bidang kehidupan seperti misalnya dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam sekolah, dan sebagainya.
Dari eksperimen ini Berne mengamati bahwa kehidupan sehari-hari banyak ditentukan oleh bagaimana ketiga status ego (anak, dewasa, dan orang tua) saling berinteraksi dan hubungan traksaksional antara ketiga status ego itu dapat mendorong pertumbuhan diri seseorang, tetapi juga dapat merupakan sumber-sumber gangguan psikologis. Percobaan Eric Berne ini dilakukan hamper 15 tahun dan akhirnya dia merumuskan hasil percobaannya itu dalam suatu teori yang disebut Analisis Transaksional dalam Psikoterapi yang diterbitkan pada tahun 1961. Selanjutnya tahun 1964 dia menulis pula tentang Games Pupil Play, dan tahun 1966 menerbitkan Principles of Group Treatment. Pengikut Eric Berne adalah Thomas Harris, Mc Neel J. dan R. Grinkers.

B. KONSEP-KONSEP UTAMA
Konsep Dasar Pandangan tentang sikap manusia
Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministik yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan. Analisis Transaksional didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne dalam pandangannya meyakini bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dan, dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.
Kata transaksi selalu mengacu pada proses pertukaran dalam suatu hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi pun dikenal transaksi, yang dipertukarkan adalah pesan pesan baik verbal maupun nonverbal. Analisis transaksional sebenarnya bertujuan untuk mengkaji secara mendalam proses transaksi (siapa-siapa yang terlibat di dalamnya dan pesan apa yang dipertukarkan).

Perwakilan Ego
Dalam diri setiap manusia, seperti dikutip Collins (1983), memiliki tiga status ego. Sikap dasar ego yang mengacu pada sikap orang tua (Parent= P. exteropsychic); sikap orang dewasa (Adult=A. neopsychic); dan ego anak (Child = C, arheopsychic). Ketiga sikap tersebut dimiliki setiap orang (baik dewasa, anak-anak, maupun orangtua). AT menggunakan suatu sistem terapi yang berlamdaskan pada teori kepribadian yang menggunakan pola perwakilan ego yang erpisah; orang tua, orang dewasa, dan anak. Menurut corey (1988), bahwa ego orang tua adalah bagian kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua atau subtitusi orang tua. Jika ego orang tua itu dialami kembali oleh kita, maka apa yang dibayangkan adalah perasaan-perasaan orang tua kita dalam suatu situasi, atau kita merasa dan bertindak terhadap orang lain dengan cara yang sama dengan perasaaan dan tindakan orang tua kita terhadap diri kita. Ego orang tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri kita bisa “orang tua pelindung” atau orang tua pengkritik”.

 Ego orang dewasa adalah pengolah data dan informasi., adalah bagian objektif dari kepribadian, juga menjadi bagian dari kepribadian yang mengetahui apa yang sedang terjadi. Dia tidak emosional dan meghakimi, tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan ekternal. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego orang dewasa menghasilkan pemecahan yang paling baik untuk masalah-masalah tertentu.
Selanjutnya, ego anak berisi perasaan-perasaan, dorongan dan tindakan yang bersifat spontan, “anak” yang berada dalam diri kita bisa berupa “anak alamiah,” adalah anak yang impulsif, tak terlatih, spontan, dan ekspresif. Dia adalah bagian dari ego anak yang intuitif. Ada juga berupa “anak disesuiakan,” yaitu merupakan modifikasi-modifikasi yang dihasilkan oleh pengalaman traumatik, tuntutan-tuntutan, latihan, dan ketepatan-ketepatan tentang bagaimana caranya memperoleh perhatian.
Skenario Kehidupan dan Posisi Psikologi Dasar
Skenario kehidupan adalah ajaran orang tua yang kita pelajari dan keputusan awal yang dibuat oleh kita sebagai anak, selanjutnya dipahami oleh kita sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan dengan demikian kita belajar dan menetapkan tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan verbal dan non verbal orang tua, mengkomunikasikan bagaimana mereka melihat dan bagimana merasakan diri kita. Kita membuat keputusan yang memberikan andil pada pembentukan perasaaan sebagai pemenang (perasaan “OK”) atau perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan “tidak OK”).
Hubungannya dengan konsep skenario, pesan-pesan dan perintah orang tua dan keputusan kita. Dalam hal ini, konsep AT memiliki empat posisi dasar yaitu;
 Pertama, Saya OK—Kamu OK
 Kedua, Saya OK—Kamu Tidak OK
 Ketiga, Saya Tidak OK—Kamu OK
 Keempat, Saya Tidak OK—Kamu Tidak OK.

Masing-masing dari posisi itu berlandaskan pada keputusan yang dibuat seseorang sebagai hasil dari pengalaman masa kecil. Bila, keputusan yang telah diambil, maka umumnya dia akan bertahan pada keputusannya itu, kecuali bila ada intevensi (konselor atau kejadian tertentu) yang mengubahnya. Posisi yang sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi Saya OK—Kamu OK. Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka. Saya OK—kamu tidak OK, adalah posisi orang yang memproyeksikan masalah-masalanya kepada orang lain dan biasanya melimpahkan kesalahan pada orang lain, ciri pada posisi ini menunjukan sikap arogan, menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dari teralinasi. Saya Tidak OK—Kamu OK , adalah posisi orang yang mangalami depresi, merasa tidak kuasa dibanding dengan orang lain dan cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain daripada keinginan diri sendir. Saya Tidak OK—Kamu Tidak.\